CNG.online: - WALHI Jakarta Wahana Lingkungan Hidup Indonesia mempertanyakan hasil Evaluasi Kualitas Udara Perkotaan (EKUP) yang dilaksanakan di 44 kota di Indonesia untuk tahun 2014 oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Hasil pemantauan KLHK terhadap kualitas udara ambien jalan raya terdiri atas 13 Kota Metropolitan, 15 Kota Besar, dan 16 Kota Sedang/Kecil yang menetapkan lima kota dengan kualitas udara terbaik sebagai berikut:
Kota Metropolitan
Palembang
Surabaya
Jakarta Pusat
Jakarta Selatan
Medan
Kota Besar
Tangerang Selatan
Pontianak
Balikpapan
Malang
Padang
Kota Sedang/Kecil
Ambon
Serang
Banda Aceh
Pangkal Pinang
Palu
"Yang kami pertanyakan, indikator penilaian yang digunakan KLHK itu apa? Misalnya Kota Palembang jadi kota metropolitan dengan kualitas udara terbaik, padahal kualitas udara di sana pada tahun 2014 itu buruk sekali. Sampai penyakit ISPA di sana meningkat, bagaimana bisa jadi yang terbaik," kata Kepala Departemen Kajian WALHI Nasional, Khalisah Khalid, Jumat.
Menurut Khalisah, KLHK seharusnya melihat fakta-fakta yang terjadi di lapangan.
"Kalau dari pemberitaan di media, indikatornya lebih banyak administratif, kebijakan regulasi di daerah dan formalitas legal. Selalu saja dalam setiap pemberian penghargaan kepada kota-kota itu selalu indikator yang digunakan adalah adminstiratif, tidak melihat fakta-fakta di lapangan," ujar Khalisah.
Menurutnya, KLHK seharusnya melakukan evaluasi dulu sampai menemukan indikator penilaian yang tepat dan penilaian masyarakat meskipun pemberian penghargaan seperti itu, lanjutnya bisa dijadikan sebagai insentif agar suatu daerah termotivasi memperbaiki kualitas lingkungan hidup.
"Kalau indikatornya hanya administratif dan tidak menjangkau persoalan lingkungan hidup yang sesungguhnya, pemberian penghargaan seperti itu ketika pada faktanya tidak terjadi justru makin membuat demoralisasi bagi kota-kota lain karena menganggap penilaiannya hanya seperti itu," jelas Khalisah.
"Kebijakan memang salah satu itikad untuk menunjukkan pemerintahan punya political will yang baik atau tidak, tetapi sejauh ini kita lihat implementasi kebijakan baik dari pemerintah daerah maupun pusat hampir rata-rata jeblok jadi tidak bisa hanya mengacu pada hal-hal yang bersifat administratif dan formalitas kegal sehingga fakta-fakta di lapangan harus dilihat dan sejauh mana keterlibatan masyarakat ketika menilai," tambahnya.
WALHI juga mengkritik bahwa penilaian kualitas udara pada suatu kota tidak bisa hanya dengan memantau dari sektor transportasi.
"Sumber pencemaran udara bukan hanya dari asap kendaraan tetapi juga sektor lain misalnya dari polusi industri. Misal di Samarinda, di sana paling buruk krisis lingkungan di sana dari tambang. Memang di kota besar kebanyakan sektor dominan di transportasi tetapi sektor lain berkontribusi. Kalau Palembang juga dari kebakaran hutan dan lahan sehingga itu perlu dilihat. Lalu untuk wilayah yang banyak pabrik bagaimana?" jelasnya.
Sementara itu, Deputi Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan, MR Karliansyah, mengatakan penilaian pencemaran udara dilakukan pada sektor transportasi karena sektor transportasi menyumbang 70 persen pencemaran udara.
"70 persen sumber emisi udara di perkotaan itu dari sektor transportasi," kata Karliansyah.
Ia menambahkan bahwa penilaian Evaluasi Kualitas Udara Perkotaan (EKUP) dilihat secara fisik sebesar 95 persen dan 5 persen dari administrasi.
"Ada beberapa penilaian seperti uji emisi kendaraan bermotor selama 3 dari yang dilakukan terhadap 500 kendaraan pribadi per hari di tiap kota, lalu pemantauan kualitas udara jalan raya (roadside monitoring) dan penghitungan kinerja lalu lintas (kecepatan lalu lintas dan kerapatan kendaraan di jalan raya) yang dilakukan secara serentak di 3 (tiga) ruas jalan arteri yang dipilih bersama dan dianggap mewakili suatu kota," jelasnya.
Terkait Kota Palembang yang menjadi kota dengan kualitas udara terbaik, ia mengatakan bahwa penilaian dilakukan sebelum terjadi bencana asap di kota tersebut. "Dan yang kami nilai lebih pada sektor transpotasi. Di Palembang banyak kendaraan yang bahan bakarnya pakai gas," imbuhnya.
Hasil pemantauan KLHK terhadap kualitas udara ambien jalan raya terdiri atas 13 Kota Metropolitan, 15 Kota Besar, dan 16 Kota Sedang/Kecil yang menetapkan lima kota dengan kualitas udara terbaik sebagai berikut:
Kota Metropolitan
Palembang
Surabaya
Jakarta Pusat
Jakarta Selatan
Medan
Kota Besar
Tangerang Selatan
Pontianak
Balikpapan
Malang
Padang
Kota Sedang/Kecil
Ambon
Serang
Banda Aceh
Pangkal Pinang
Palu
"Yang kami pertanyakan, indikator penilaian yang digunakan KLHK itu apa? Misalnya Kota Palembang jadi kota metropolitan dengan kualitas udara terbaik, padahal kualitas udara di sana pada tahun 2014 itu buruk sekali. Sampai penyakit ISPA di sana meningkat, bagaimana bisa jadi yang terbaik," kata Kepala Departemen Kajian WALHI Nasional, Khalisah Khalid, Jumat.
Menurut Khalisah, KLHK seharusnya melihat fakta-fakta yang terjadi di lapangan.
"Kalau dari pemberitaan di media, indikatornya lebih banyak administratif, kebijakan regulasi di daerah dan formalitas legal. Selalu saja dalam setiap pemberian penghargaan kepada kota-kota itu selalu indikator yang digunakan adalah adminstiratif, tidak melihat fakta-fakta di lapangan," ujar Khalisah.
Menurutnya, KLHK seharusnya melakukan evaluasi dulu sampai menemukan indikator penilaian yang tepat dan penilaian masyarakat meskipun pemberian penghargaan seperti itu, lanjutnya bisa dijadikan sebagai insentif agar suatu daerah termotivasi memperbaiki kualitas lingkungan hidup.
"Kalau indikatornya hanya administratif dan tidak menjangkau persoalan lingkungan hidup yang sesungguhnya, pemberian penghargaan seperti itu ketika pada faktanya tidak terjadi justru makin membuat demoralisasi bagi kota-kota lain karena menganggap penilaiannya hanya seperti itu," jelas Khalisah.
"Kebijakan memang salah satu itikad untuk menunjukkan pemerintahan punya political will yang baik atau tidak, tetapi sejauh ini kita lihat implementasi kebijakan baik dari pemerintah daerah maupun pusat hampir rata-rata jeblok jadi tidak bisa hanya mengacu pada hal-hal yang bersifat administratif dan formalitas kegal sehingga fakta-fakta di lapangan harus dilihat dan sejauh mana keterlibatan masyarakat ketika menilai," tambahnya.
WALHI juga mengkritik bahwa penilaian kualitas udara pada suatu kota tidak bisa hanya dengan memantau dari sektor transportasi.
"Sumber pencemaran udara bukan hanya dari asap kendaraan tetapi juga sektor lain misalnya dari polusi industri. Misal di Samarinda, di sana paling buruk krisis lingkungan di sana dari tambang. Memang di kota besar kebanyakan sektor dominan di transportasi tetapi sektor lain berkontribusi. Kalau Palembang juga dari kebakaran hutan dan lahan sehingga itu perlu dilihat. Lalu untuk wilayah yang banyak pabrik bagaimana?" jelasnya.
Sementara itu, Deputi Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan, MR Karliansyah, mengatakan penilaian pencemaran udara dilakukan pada sektor transportasi karena sektor transportasi menyumbang 70 persen pencemaran udara.
"70 persen sumber emisi udara di perkotaan itu dari sektor transportasi," kata Karliansyah.
Ia menambahkan bahwa penilaian Evaluasi Kualitas Udara Perkotaan (EKUP) dilihat secara fisik sebesar 95 persen dan 5 persen dari administrasi.
"Ada beberapa penilaian seperti uji emisi kendaraan bermotor selama 3 dari yang dilakukan terhadap 500 kendaraan pribadi per hari di tiap kota, lalu pemantauan kualitas udara jalan raya (roadside monitoring) dan penghitungan kinerja lalu lintas (kecepatan lalu lintas dan kerapatan kendaraan di jalan raya) yang dilakukan secara serentak di 3 (tiga) ruas jalan arteri yang dipilih bersama dan dianggap mewakili suatu kota," jelasnya.
Terkait Kota Palembang yang menjadi kota dengan kualitas udara terbaik, ia mengatakan bahwa penilaian dilakukan sebelum terjadi bencana asap di kota tersebut. "Dan yang kami nilai lebih pada sektor transpotasi. Di Palembang banyak kendaraan yang bahan bakarnya pakai gas," imbuhnya.