BPK RI Temukan 5.986 kasus senilai Rp4,20 triliun atas LKPD
CNG.online: - Jakarta Badan Pemeriksa Keuangan RI (BPK RI) menemukan 14.854 kasus senilai Rp30,87 triliun selama pemeriksaaan di semester I Tahun 2014. Khusus untuk pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), BPK RI menemukan 5.986 kasus ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan senilai Rp4,20 triliun.
"Sampai dengan Semester I Tahun 2014, BPK telah memeriksa 456 LKPD Tahun 2013 dari 524 pemerintah daerah," ungkap Ketua BPK RI Harry Azhar Azis ketika menyerahkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I (IHPS I) Tahun 2014 dan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Lima Tahun (IHPL) periode semester II Tahun 2009 s.d. semester I Tahun 2014 kepada Ketua Dewan Perwakilan Daerah RI (DPD RI) Irman Gusman di Gedung Nusantara V DPD RI, Jakarta, 5 Desember 2014. Acara penyerahan IHPS dan IHPL tersebut dihadiri juga oleh para Anggota BPK RI dan pejabat di lingkungan BPK RI.
Terkait dengan 5.986 kasus ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan itu, Ketua BPK menjelaskan terdapat 2.339 kasus ketidakpatuhan yang mengakibatkan kerugian daerah senilai Rp982,4 miliar; 373 kasus potensi kerugian daerah senilai Rp2,6 triliun; dan 945 kasus kekurangan penerimaan daerah senilai Rp393,1 miliar.
BPK menemukan kasus-kasus kerugian daerah, antara lain, berupa kekurangan volume pekerjaan atau barang senilai Rp240,4 miliar, biaya perjalanan dinas ganda atau melebihi standar senilai Rp79,9 miliar. Kemudian, BPK juga menemukan adanya belanja perjalanan dinas fiktif senilai Rp90,4 miliar. "BPK memiliki kerjasama dengan maskapai penerbangan, sehingga setiap saat dapat mengetahuinya," ungkap Ketua BPK dihadapan para pimpinan dan anggota DPD RI.
Selain itu, BPK RI juga menemukan permasalahan signifikan yang perlu mendapat perhatian, antara lain, terkait dengan persiapan penerapan akuntansi berbasis akrual di pemerintah daerah dan pengalihan kewenangan pemungutan PBB-P2 dari pusat ke daerah.
Berdasarkan pemeriksaan atas 184 LKPD, lanjut Harry Azhar Azis, BPK menemukan kasus-kasus ketidaksiapan pemerintah daerah dalam menerapkan akuntansi berbasis akrual. Sedangkan sesuai dengan PP No.71 Tahun 2010 tentang SAP, pemerintah wajib menerapkan akuntansi berbasis akrual paling lambat tahun 2015.Pada umumnya, Pemerintah Daerah belum menyiapkan peraturan daerah mengenai penerapan akuntansi berbasis akrual, belum adanya rencana pengembangan sistem/aplikasinya serta keterbatasan sumber daya manusia yang kompeten dan memadai di setiap satuan kerja.
Permasalahan berikutnya yang perlu mendapat perhatian oleh pemerintah, lembaga perwakilan dan seluruh pemangku kepentingan adalah mengenai pengalihan kewenangan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dari pusat ke daerah. Kewenangan pemungutan PBB-P2 dialihkan paling lambat 1 Januari 2014.
Dalam pemeriksaannya, BPK RI menemukan permasalahan, antara lain, pemerintah daerah belum memiliki SDM, baik secara kuantitas maupun kualitas untuk melakukan pungutan PBB-P2, pemerintah daerah belum melakukan verifikasi/validasi data piutan PBB-P2, peraturan dan SOP terkait pengelolaan PBB-P2 belum tersedia.
"Atas permasalahan signifikan tersebut, BPK RI mengharapkan kepada pemerintah pusat dan daerah untuk segera menindaklanjuti temuan BPK RI sesuai dengan rekomendasi yang diberikan," tegas Harry Azhar Azis.
Sementara itu, Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Lima Tahun (IHPL) 2009-2014 mengungkapkan mengenai informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara dalam periode lima tahun. Selama lima tahun ini, BPK RI telah menerbitkan 6.900 LHP yang memuat 22.337 kasus yang mengakibatkan kerugian negara senilai Rp20,93 triliun, potensi kerugian negara sebanyak 5.441 kasus senilai Rp52,91 triliun, dan kasus kekurangan penerimaan senilai Rp38,73 triliun. "Total ada 40.854 kasus senilai Rp112,57 triliun," ujar Ketua BPK RI.
IHPL juga memuat hasil pemeriksaan atas program-program prioritas RPJMN. Hal tersebut dimaksudkan untuk memberi masukan kepada pemerintah dalam menyusun prioritas pembangunan dalam RPJMN berikutnya. Masukan BPK dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki pelaksanaan program dan kegiatan yang baru sehingga tepat sasaran dan mencapai kinerja terbaik.
Menurut Ketua BPK RI, hasil pemeriksaan akan efektifitas apabila LHPnya ditindaklanjuti oleh entitas terperiksa. Untuk itu diharapkan peran pengawasan DPD RI secara intensif untuk mendorong efektifitas tindaklanjut hasil pemeriksaan tersebut.
CNG.online: - Jakarta Badan Pemeriksa Keuangan RI (BPK RI) menemukan 14.854 kasus senilai Rp30,87 triliun selama pemeriksaaan di semester I Tahun 2014. Khusus untuk pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), BPK RI menemukan 5.986 kasus ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan senilai Rp4,20 triliun.
"Sampai dengan Semester I Tahun 2014, BPK telah memeriksa 456 LKPD Tahun 2013 dari 524 pemerintah daerah," ungkap Ketua BPK RI Harry Azhar Azis ketika menyerahkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I (IHPS I) Tahun 2014 dan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Lima Tahun (IHPL) periode semester II Tahun 2009 s.d. semester I Tahun 2014 kepada Ketua Dewan Perwakilan Daerah RI (DPD RI) Irman Gusman di Gedung Nusantara V DPD RI, Jakarta, 5 Desember 2014. Acara penyerahan IHPS dan IHPL tersebut dihadiri juga oleh para Anggota BPK RI dan pejabat di lingkungan BPK RI.
Terkait dengan 5.986 kasus ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan itu, Ketua BPK menjelaskan terdapat 2.339 kasus ketidakpatuhan yang mengakibatkan kerugian daerah senilai Rp982,4 miliar; 373 kasus potensi kerugian daerah senilai Rp2,6 triliun; dan 945 kasus kekurangan penerimaan daerah senilai Rp393,1 miliar.
BPK menemukan kasus-kasus kerugian daerah, antara lain, berupa kekurangan volume pekerjaan atau barang senilai Rp240,4 miliar, biaya perjalanan dinas ganda atau melebihi standar senilai Rp79,9 miliar. Kemudian, BPK juga menemukan adanya belanja perjalanan dinas fiktif senilai Rp90,4 miliar. "BPK memiliki kerjasama dengan maskapai penerbangan, sehingga setiap saat dapat mengetahuinya," ungkap Ketua BPK dihadapan para pimpinan dan anggota DPD RI.
Selain itu, BPK RI juga menemukan permasalahan signifikan yang perlu mendapat perhatian, antara lain, terkait dengan persiapan penerapan akuntansi berbasis akrual di pemerintah daerah dan pengalihan kewenangan pemungutan PBB-P2 dari pusat ke daerah.
Berdasarkan pemeriksaan atas 184 LKPD, lanjut Harry Azhar Azis, BPK menemukan kasus-kasus ketidaksiapan pemerintah daerah dalam menerapkan akuntansi berbasis akrual. Sedangkan sesuai dengan PP No.71 Tahun 2010 tentang SAP, pemerintah wajib menerapkan akuntansi berbasis akrual paling lambat tahun 2015.Pada umumnya, Pemerintah Daerah belum menyiapkan peraturan daerah mengenai penerapan akuntansi berbasis akrual, belum adanya rencana pengembangan sistem/aplikasinya serta keterbatasan sumber daya manusia yang kompeten dan memadai di setiap satuan kerja.
Permasalahan berikutnya yang perlu mendapat perhatian oleh pemerintah, lembaga perwakilan dan seluruh pemangku kepentingan adalah mengenai pengalihan kewenangan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dari pusat ke daerah. Kewenangan pemungutan PBB-P2 dialihkan paling lambat 1 Januari 2014.
Dalam pemeriksaannya, BPK RI menemukan permasalahan, antara lain, pemerintah daerah belum memiliki SDM, baik secara kuantitas maupun kualitas untuk melakukan pungutan PBB-P2, pemerintah daerah belum melakukan verifikasi/validasi data piutan PBB-P2, peraturan dan SOP terkait pengelolaan PBB-P2 belum tersedia.
"Atas permasalahan signifikan tersebut, BPK RI mengharapkan kepada pemerintah pusat dan daerah untuk segera menindaklanjuti temuan BPK RI sesuai dengan rekomendasi yang diberikan," tegas Harry Azhar Azis.
Sementara itu, Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Lima Tahun (IHPL) 2009-2014 mengungkapkan mengenai informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara dalam periode lima tahun. Selama lima tahun ini, BPK RI telah menerbitkan 6.900 LHP yang memuat 22.337 kasus yang mengakibatkan kerugian negara senilai Rp20,93 triliun, potensi kerugian negara sebanyak 5.441 kasus senilai Rp52,91 triliun, dan kasus kekurangan penerimaan senilai Rp38,73 triliun. "Total ada 40.854 kasus senilai Rp112,57 triliun," ujar Ketua BPK RI.
IHPL juga memuat hasil pemeriksaan atas program-program prioritas RPJMN. Hal tersebut dimaksudkan untuk memberi masukan kepada pemerintah dalam menyusun prioritas pembangunan dalam RPJMN berikutnya. Masukan BPK dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki pelaksanaan program dan kegiatan yang baru sehingga tepat sasaran dan mencapai kinerja terbaik.
Menurut Ketua BPK RI, hasil pemeriksaan akan efektifitas apabila LHPnya ditindaklanjuti oleh entitas terperiksa. Untuk itu diharapkan peran pengawasan DPD RI secara intensif untuk mendorong efektifitas tindaklanjut hasil pemeriksaan tersebut.