CNG.online: - Semarang Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Prof M. Nasir mengatakan Thailand sudah memesan pesawat N-219 yang risetnya tengah dikembangkan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan).
"Riset N219 ini tengah dibuat, dilakukan. Harapannya, pada pertengahan tahun ini sudah bisa digelindingkan keluar hanggar, sudah bentuk bodi pesawat," katanya, di Semarang, Jumat (30/1) malam.
Meski pesawat N-219 masih dalam proses riset, dia mengatakan, sudah ada negara lain yang memesan pesawat penumpang berukuran kecil itu, yakni Thailand.
"Sudah ada pemesanan N-219 dari Thailand. Yang sudah melihat-lihat Filipina. Namun, yang sudah jelas memesan adalah Thailand. Diharapkan, akhir 2015 sudah bisa terbang, teruji," tukasnya.
Kalau semuanya sudah beres, termasuk sertifikasi pesawat, kata dia, ditargetkan pada 2016 sudah bisa dilakukan produksi massal untuk pesawat N219. Pesawat ini memiliki berbagai kelebihan," katanya.
N219 rancangan PT Dirgantara Indonesia berbasiskan CASA C-212/NC-212 Aviocar yang produksinya lebih dulu dilakukan di hanggar produksinya, di Bandung. Digadang-gadang akan diberi banderol US$ 4 juta, N-219 bisa mengangkut 19 orang dengan beban maksimal lepas landas sekitar 7,5 ton dari bobot kosongnya sekitar 4,5 ton.
N-219 ditenagai dua mesin Pratt & Whitney PT6A-42 yang bisa menerbangkan dia hingga jarak tempuh ekonomis sekitar 1.100 kilometer pada kecepatan jelajah sekitar 400 kilometer perjam. Walau dirancang untuk bisa beroperasi dengan perawatan pada kondisi di wilayah terpencil, N-219 dilengkapi instrumen cukup canggih, di antara head-up display memampangkan instrumen penerbangan digital.
N-219 didedikasikan bisa menggantikan DHC-6 Twin Otter buatan de Havilland, Kanada, yang dikenal di seluruh dunia sangat tangguh dan andal dalam operasionalisasinya di wilayah-wilayah terpencil dengan fasilitas sangat minimal.
Ia menjelaskan pesawat N219 memang didesain untuk transportasi udara antardaerah dan antarpulau dengan jarak yang tidak terlalu jauh dan kelebihannya tidak memerlukan landasan panjang.
"Panjang landasan yang dibutuhkan untuk pesawat ini hanya 550-600 meter. Jadi, memang tidak butuh landasan panjang. Biasanya, landasan sampai 1,4, 1,8, 2,4 dan 2,8 kilometer," katanya.
Menurut dia, potensi pemasaran pesawat ini cukup besar, terutama dari dalam negeri yang kebutuhannya mencapai 200 pesawat, tetapi tentunya kebutuhan itu tidak semuanya bisa tercukupi.
"Kapasitas produksi di pabriknya saja hanya 24 pesawat setahun. Kalau kebutuhannya 200 pesawat kan bisa sampai delapan tahun baru terpenuhi. Makanya, kami dorong pengembangan kapasitas produksi,"
"Riset N219 ini tengah dibuat, dilakukan. Harapannya, pada pertengahan tahun ini sudah bisa digelindingkan keluar hanggar, sudah bentuk bodi pesawat," katanya, di Semarang, Jumat (30/1) malam.
Meski pesawat N-219 masih dalam proses riset, dia mengatakan, sudah ada negara lain yang memesan pesawat penumpang berukuran kecil itu, yakni Thailand.
"Sudah ada pemesanan N-219 dari Thailand. Yang sudah melihat-lihat Filipina. Namun, yang sudah jelas memesan adalah Thailand. Diharapkan, akhir 2015 sudah bisa terbang, teruji," tukasnya.
Kalau semuanya sudah beres, termasuk sertifikasi pesawat, kata dia, ditargetkan pada 2016 sudah bisa dilakukan produksi massal untuk pesawat N219. Pesawat ini memiliki berbagai kelebihan," katanya.
N219 rancangan PT Dirgantara Indonesia berbasiskan CASA C-212/NC-212 Aviocar yang produksinya lebih dulu dilakukan di hanggar produksinya, di Bandung. Digadang-gadang akan diberi banderol US$ 4 juta, N-219 bisa mengangkut 19 orang dengan beban maksimal lepas landas sekitar 7,5 ton dari bobot kosongnya sekitar 4,5 ton.
N-219 ditenagai dua mesin Pratt & Whitney PT6A-42 yang bisa menerbangkan dia hingga jarak tempuh ekonomis sekitar 1.100 kilometer pada kecepatan jelajah sekitar 400 kilometer perjam. Walau dirancang untuk bisa beroperasi dengan perawatan pada kondisi di wilayah terpencil, N-219 dilengkapi instrumen cukup canggih, di antara head-up display memampangkan instrumen penerbangan digital.
N-219 didedikasikan bisa menggantikan DHC-6 Twin Otter buatan de Havilland, Kanada, yang dikenal di seluruh dunia sangat tangguh dan andal dalam operasionalisasinya di wilayah-wilayah terpencil dengan fasilitas sangat minimal.
Ia menjelaskan pesawat N219 memang didesain untuk transportasi udara antardaerah dan antarpulau dengan jarak yang tidak terlalu jauh dan kelebihannya tidak memerlukan landasan panjang.
"Panjang landasan yang dibutuhkan untuk pesawat ini hanya 550-600 meter. Jadi, memang tidak butuh landasan panjang. Biasanya, landasan sampai 1,4, 1,8, 2,4 dan 2,8 kilometer," katanya.
Menurut dia, potensi pemasaran pesawat ini cukup besar, terutama dari dalam negeri yang kebutuhannya mencapai 200 pesawat, tetapi tentunya kebutuhan itu tidak semuanya bisa tercukupi.
"Kapasitas produksi di pabriknya saja hanya 24 pesawat setahun. Kalau kebutuhannya 200 pesawat kan bisa sampai delapan tahun baru terpenuhi. Makanya, kami dorong pengembangan kapasitas produksi,"