CNG.online:- Mengawali 2015, pemerintah memberi “hadiah” berupa penurunan harga bahan
bakar minyak (BBM) bersubsidi. Harga BBM bersubsidi jenis premium turun Rp 900
menjadi Rp 7.600 per liter dan jenis solar turun dari Rp 7.500 menjadi Rp 7.250
per liter.
Keputusan pemerintah menurunkan harga BBM
bersubsidi hanya berselang satu setengah bulan dari kenaikan harga BBM
pemerintah pada 18 November 2014. Langkah pemerintah tersebut menyusul tren
penurunan harga minyak mentah dunia yang kini berkisar di level US$ 54 per
barel, sehingga memungkinkan pemerintah menghapus subsidi premium di Jawa,
Madura, dan Bali. Pada saat bersamaan, pemerintah menetapkan subsidi tetap
untuk solar sebesar Rp 1.000 di seluruh Indonesia, dan subsidi tetap untuk
premium sebesar Rp 1.000 per liter di luar wilayah Jawa, Madura, dan Bali.
Dengan kebijakan baru berupa penghapusan
subsidi dan pemberlakuan subsidi tetap tersebut, pemerintah mampu menghemat
anggaran subsidi BBM di APBN 2015 sebesar Rp 216 triliun, dari Rp 276 triliun
menjadi Rp 60 triliun. Dengan demikian, anggaran yang semula dialokasikan untuk
subsidi BBM bisa dialihkan untuk kegiatan produktif, terutama untuk
mengakselerasi pembangunan infrastruktur.
Kebijakan pemerintah di sektor energi ini
sangat strategis yang memberi ruang fiskal bagi pemerintah untuk mewujudkan
semua sasaran pembangunan. Sejak lama, persoalan subsidi BBM selalu menjadi
faktor yang menyandera pemerintah, sehingga alokasi APBN untuk sektor
pembangunan dan kegiatan produktif lainnya menjadi sangat terbatas. Subsidi BBM
selalu menjadi bom waktu bagi anggaran negara dan perekonomian nasional.
Bom waktu berupa subsidi BBM tersebut selama
ini tak kunjung teratasi karena selama bertahun-tahun pemerintah gagal
merealisasikan sejumlah rencana terkait energi nasional. Rencana dimaksud
antara lain konversi dari BBM ke sumber energi baru dan terbarukan, konversi
BBM ke gas, serta pembangunan sarana transportasi massal secara memadai untuk
mengurangi mobilitas kendaraan pribadi.
Semua rencana tersebut, sejatinya sangat
ideal. Sebab, hal itu sudah dilakukan di banyak negara, karena menyadari
keterbatasan BBM sebagai sumber energi yang tak terbarukan, dan menghadapi
fluktuasi harga di pasar internasional. Sayangnya, rencana-rencana itu hanya
berhenti di atas kertas.
Seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan
pertumbuhan kelas menengah yang memicu pertumbuhan penjualan kendaraan
bermotor, konsumsi BBM bersubsidi di dalam negeri terus meningkat. Alhasil,
alokasi subsidi yang harus disiapkan APBN juga membengkak.
Di sisi lain, subsidi BBM selama puluhan
tahun telanjur menjadi alat politik bagi penguasa, untuk mempertahankan
dukungan masyarakat. Di tengah kesadaran bahwa subsidi BBM salah
sasaran--karena 70 persen subsidi justru dinikmati kelompok masyarakat menengah
ke atas--kalangan elite politik selalu menggunakan isu ini sebagai senjata
untuk menyerang pemerintah. Akibatnya, dari tahun ke tahun pemerintah tak
kunjung berani menyelesaikan persoalan subsidi BBM agar tidak menjadi parasit
bagi perekonomian.
Dengan mempertahankan subsidi BBM dalam
jumlah besar, sama saja pemerintah memelihara parasit dalam APBN. Akibatnya,
pemerintah tidak bisa memanfaatkan besarnya belanja dalam APBN secara optimal
untuk program-program yang berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat. Program
dimaksud seperti pembangunan infrastruktur perhubungan untuk meningkatkan
konektivitas antarwilayah sehingga memeratakan pusat pertumbuhan ekonomi di
seluruh wilayah, pembangunan infrastruktur pertanian untuk mewujudkan
kedaulatan pangan, dan program-program pemberdayaan masyarakat miskin dan
prasejahtera.
Dengan kondisi tersebut pemerintahan Joko
Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) harus mampu membuktikan bahwa pilihan
penghapusan subsidi merupakan pilihan yang rasional dan tepat. Caranya, dengan
segera mewujudkan janji-janji kampanyenya, terutama yang berkaitan dengan
penyediaan infrastruktur dasar dan kedaulatan pangan. Anggaran yang diperoleh
dari penghematan subsidi BBM harus benar-benar tepat sasaran pada
program-program yang telah dicanangkan.
Hanya dengan cara ini, masyarakat tidak akan
resisten terhadap setiap pilihan kebijakan yang tidak populis. Sebaliknya,
rakyat akan dengan suka rela mendukung setiap keputusan pemerintah. Dengan
demikian, akan menghilangkan ruang manuver politik para elite, yang kerap
memanfaatkan kebijakan yang tidak populis, untuk menekan pemerintah.
Persoalan subsidi BBM tidak bisa ditunda dan
didiamkan begitu saja, karena pemerintah tidak berani mengambil risiko politik.
Justru jika dibiarkan, pemerintah sengaja memasang bom waktu bagi perekonomian.
Elite politik juga perlu menyadari dan memahami persoalan pelik subsidi BBM
ini, dan tidak memanfaatkannya sebagai alat untuk menekan pemerintah. Bahwa
subsidi BBM harus diselesaikan dengan pendekatan ekonomi, bukan politik. Justru
tugas elite politik untuk turut meredam agar dampaknya dari kebijakan
pengurangan subsidi BBM ini tidak melahirkan eskalasi politik yang tak
terkendali. Jika tidak ada kebijakan revolutif, persoalan subsidi BBM akan
selalu dihadapi siapa pun rezim yang berkuasa.
No comments:
Post a Comment