CNG.online: - Sektor kehutanan sebagai bagian dari sumber daya alam yang dimiliki Indonesia, memegang peran penting dalam pembangunan nasional. Dengan luasan sekitar 70% dari wilayah darat, hutan Indonesia ibarat ‘magnet' bagi berbagai pihak dengan beragam kepentingan. Di sisi lain, penetapan tata batas hingga saat ini masih belum tuntas. Sengketa lahan atau kawasan hutan dan saling klaim batas kelola pun menjadi fenomena yang terus berulang dari tahun ke tahun.
Salah satu latar belakang konflik di sektor kehutanan adalah indikasi praktek koruptif di sejumlah tahapan pengelolaan hutan. Dengan memanfaatkan celah yang ada pada regulasi, keuntungan dalam jumlah yang tak sedikit dapat dinikmati pihak tertentu.
Permasalahan yang kompleks di sektor kehutanan Indonesia ini diakui oleh Profesor Hariadi Kartodihardjo, Ketua Presidium Dewan Kehutanan Nasional. Di sela kesibukannya sebagai pengajar di Fakultas Kehutanan IPB dan Program Pascasarjana IPB dan UI, beliau menyempatkan diri menerima tim ACCH di ruang kerjanya di Institut Pertanian Bogor untuk memaparkan kondisi sektor kehutanan Indonesia saat ini.
Berdasarkan data Kementerian Kehutanan tahun 2013, pengukuhan kawasan hutan baru mencapai 16,18% dari total luas wilayah 120 juta ha. Mengapa proses pengukuhan ini lambat?
Penyebab kelambatan ini antara lain adalah kebijakan. Tata batas berdasarkan penunjukan kawasan hutan tak menyelesaikan hak-hak pihak ketiga secara tuntas, dan belum mendapat pengakuan masyarakat dan pemerintah daerah, walau dalam pelaksanaannya (dulu dan sebagian sekarang), bupati menjadi ketua Panitia Tata Batas (PTB). Tata batas ini legal tapi tidak legitimate. Secara teknis pelaksanaan tata batas adalah sepanjang jalur batas, sedangkan untuk daerah di dalamnya tidak dilakukan karena terbatasnya anggaran. Inilah yang menimbulkan klaim-klaim masyarakat atas area di dalamnya yang sampai sekarang belum terselesaikan.
Faktor penyebab yang kedua adalah perubahan tata ruang 5 tahunan yang seringkali menafikan tata batas yang sebelumnya telah ada, dan dalam pratiknya mengakomodir perizinan yang salah lokasi dan perubahan dalam 5 tahun berjalan.
Penetapan kawasan hutan yang selama ini belum menjadi prioritas utama, adalah faktor berikutnya. Kebijakan lain seperti izin pemanfaatan (kayu dan non kayu) maupun penggunaan hutan (tambang) dapat diberikan, tanpa harus diselesaikannya penetapan kawasan hutan secara sah. Implikasinya, penetapan kawasan hutan melambat karena tanpa pengukuhan pun pengelolaan hutan tetap dapat berjalan.
Penetapan kawasan hutan disamakan dengan kegiatan lainnya, sehingga memasang patok batas menjadi bukti pertanggungjawaban keuangan atau anggaran. Padahal persoalan utama di sini adalah memastikan hak negara dan hak pihak lain, sehingga yang menjadi permasalahan sebenarnya adalah mediasi dan resolusi konflik.
Setelah tahun 2009, dimulai upaya percepatan penyelesaian penetapan dan tata batas. Sehingga pada akhir Desember 2014, sesuai data yang di release oleh Kementerian Kehutanan, penetapan kawasan hutan telah mencapai ±83.312.731,18 ha atau 68,86%.
Bagaimanakah keterlibatan masyarakat dalam pembenahan kebijakan sektor kehutanan?
Cukup banyak Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) dan akademisi yang mewakili peran masyarakat dalam upaya pembenahan kebijakan di sektor kehutanan. Permasalahannya, ada perbedaan substansial atau cara berfikir antara masyarakat dan pemerintah. Masyarakat biasanya berangkat dari persoalan-persoalan riil di lapangan, sedangkan pemerintah berangkat dari tugas pokok dan fungsi (tupoksi) yang harus ditaati. Dalam pratiknya di lapangan, pemerintah lebih mementingkan bagaimana mempertanggungjawabkan anggaran daripada memikirkan bagaimana persoalan diselesaikan. Gap yang demikian ini, sampai sekarang belum terpecahkan.
Seperti apa gambaran potensi kekayaan dan penerimaan negara sektor kehutanan?
Potensi dan realisasi penerimaan negara dari sumber daya alam secara umum sangat terkait dengan kecakapan negara untuk mampu mengetahui jumlah produksi dari tiap sektor, serta penetapan harga dasar setiap komoditi yang dijadikan sarana untuk menentukan pendapatan pemerintah.
Upaya penetapan produksi sampai saat ini tidak berkembang signifikan. Pemerintah masih menggunakan cara tunggal, dengan menempatkan SDM di perusahaan pengelola sebagai tenaga teknis (GANIS) yang mengukur dan melakukan grading kayu bulat milik perusahannya tersebut. GANIS diawasi oleh pengawas tenaga teknis (WASGANIS), yaitu pegawai pemerintah daerah dan UPT kehutanan dari Balai Pemantauan Pemanfaatan Hasil Hutan (BP2HP).
Dalam praktiknya, pengaturan hasil yang menguntungkan keduanya masih banyak ditemukan. Demikian pula untuk penetapan harga dasar sebagai instrumen menetapkan jumlah provisi (Provisi Sumber Daya Hutan) atau dana (reboisasi) sebagai pendapatan negara. Fakta di lapangan, menaikkan PSDH dan DR menjadi sangat krusial, karena tingginya biaya transaksi dalam proses perizinan maupun proses produksinya. Ini biasanya tidak dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan. Dengan sistem perdagangan saat ini, harga kayu menjadi under value sehingga produsen tidak mampu mendapatkan keuntungan yang semestinya.
Prof. Hariadi Kartodihardjo atau yang kerap disapa Prof. HK (yang berasal dari inisial nama beliau), tak asing lagi dengan berbagai isu pengelolaan hutan di Indonesia. Sejumlah hasil penelitiannya telah dituangkan dalam bentuk buku maupun karya ilmiah lainnya. Saat wawancara tim ACCH mulai menyentuh isu korupsi di sektor kehutanan, antusiasme beliau yang meraih gelar profesornya untuk Kebijakan Hutan tergambar dari runutnya penuturannya berikut ini.
Bagaimana alur atau proses perizinan pengelolaan kawasan hutan dan titik rawan korupsinya?
Alur atau proses perizinan dalam pengelolaan kawasan hutan dapat digambarkan seperti di bawah ini. Praktik penyuapan/ pemerasan yang terkait perizinan sangat tinggi, dan terjadi hampir di seluruh proses perizinan.
Penelitian KPK tahun 2013 telah mengkaji alur dan titik-titik rawan korupsi dalam proses pengelolaan hutan. Mulai dari persiapan permohonan, penelitian permohonan, tata batas, sampai dengan keluarnya izin pengelolaan. Dari izin ini kemudian ditentukan working area di lapangan, inventarisasi hutan menyeluruh berkala yang dilakukan oleh pemegang izin, rencana kerja lima tahun, laporan potensi hutan lima tahun, rencana kerja tahunan, dan laporan hasil produksi.
Berikutnya adalah tata usaha kayu, dimana pada tahap ini diterbitkan Surat Sah Hasil Hutan. Di tahap persiapan permohonan izin, izin, dan rekonsiliasi sangat rawan kecurangan dimana pemerintah dapat melakukan tindakan untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu. Potensi suap, pemerasan dan penjualan pengaruh ada di tiap titik.
Tim peneliti pernah melakukan penghitungan biaya untuk perizinan pengelolaan hutan, dan didapat angka yang sangat fantastis, yakni Rp 22 milyar untuk setiap izinnya. Dengan biaya yang sangat mahal tersebut, bagaimana rakyat mampu untuk "membeli" legalitas pengelolaan hutan?
Hal ini menimbulkan kesenjangan pelayanan, yaitu antara perusahaan yang mempunyai dana besar dan rakyat. Walaupun dikatakan bahwa semua elemen diberikan kesempatan yang sama, namun secara fakta di lapangan sangat berbeda.
Untuk menutup biaya tersebut perusahaan melakukan over cutting. Selain untuk menutup mahalnya biaya transaksi, ini dilakukan untuk mencapai target peningkatan penerimaan negara yang dicanangkan oleh BUMN. Jadi memang masalah di sektor kehutanan ini sangat kompleks.
Disini pemerintah tidak punya instrumen yang efektif untuk menghitung kekayaan sumber daya alam. Hal ini disiasati dengan adanya GANIS dan WASGANIS, namun kondisinya, mereka sangat negotiable. Seharusnya maintenance terhadap GANIS dan WAGANIS harus ideal, karena tanggungjawab, kewenangan, dan posisi yang strategis serta rawan korupsi.
Bagaimanakah respon pemerintah atas kondisi kehutanan Indonesia saat ini?
Pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Kehutanan, pada saat itu melakukan respon cukup besar dengan melakukan perbaikan regulasi dengan memotong alur atau proses perizinan. Namun, ternyata praktik pelaksanaan regulasi ini masih menimbulkan biaya transaksi yang tinggi di lapangan.
Solusi apa yang bisa ditawarkan untuk menyelesaikan persoalan sektor kehutanan Indonesia?
Dibutuhkan perbaikan kebijakan dan pelaksanaan di lapangan secara mendasar, dalam arti mengurangi peluang terjadinya korupsi. Upaya ini tidak dapat berjalan baik apabila tidak ada power yang memadai untuk melakukan ini. Disamping itu penetapan persoalan-persoalan teknis secara tepat juga penting, agar persoalan dapat diatasi.
Nota Kesepakatan Bersama (NKB)-KPK sejauh ini dapat menjalankan kedua fungsi itu, namun dalam pelaksanaannya, masalah di lapangan masih belum dapat diatasi. Berbagai perbaikan peraturan tersebut masih belum operasional, sementara kelembagaan Pemerintah masih stagnan (dengan tupoksi, anggaran dan cara mengukur kinerja yang sama atau mementingkan aspek administrasi), sehingga manuver untuk melakukan perubahan belum berarti, terutama bagi yang terkena dampak kebijakan.
Selain perubahan peraturan dan prosedur melalui revisi atau perubahan Peraturan Pemerintah dan Peraturan setingkat menteri untuk menghindari terjadinya korupsi, melalui metode corruption impact assesment, dalam jangka panjang juga perlu harmonisasi peraturan pada tingkat undang-undang.
Di samping itu, perlu perubahan struktur birokrasi pemerintah pusat maupun daerah yang dapat menunjukkan perubahan orientasi pemecahan masalah secara nyata di lapangan, dan bukan menyelesaikan pertanggungjawaban tupoksi dan anggaran saja. Keterbukaan informasi serta peran aktif LSM dan akademisi serta media juga sangat krusial, karena peran publik dalam memberikan justifikasi perubahan sangat diperlukan untuk mengimbangi konflik kepentingan dalam tubuh Pemerintah.
Selain upaya perbaikan dalam tubuh pemerintah, bagaimana upaya perbaikan dari sisi pengusaha?
Suap adalah sebuah kejahatan yang tidak hanya melibatkan satu pihak atau single actor, namun selain pihak yang menerima suap, juga ada pihak yang menyuap, yaitu pihak swasta. Merespon hal ini telah dilakukan pertemuan dengan pihak-pihak tersebut untuk bersama-sama melakukan perubahan ke arah good corporate governance.
Dalam membuat suatu perubahan, kita akui tidak mudah. Ketika pada level atas sudah menyatakan komitmennya untuk menerapkan good corporate governance, belum tentu pada level bawah atau teknis di lapangan secara serta-merta ‘mengiyakan' instruksi atasannya.
Salah satu latar belakang konflik di sektor kehutanan adalah indikasi praktek koruptif di sejumlah tahapan pengelolaan hutan. Dengan memanfaatkan celah yang ada pada regulasi, keuntungan dalam jumlah yang tak sedikit dapat dinikmati pihak tertentu.
Permasalahan yang kompleks di sektor kehutanan Indonesia ini diakui oleh Profesor Hariadi Kartodihardjo, Ketua Presidium Dewan Kehutanan Nasional. Di sela kesibukannya sebagai pengajar di Fakultas Kehutanan IPB dan Program Pascasarjana IPB dan UI, beliau menyempatkan diri menerima tim ACCH di ruang kerjanya di Institut Pertanian Bogor untuk memaparkan kondisi sektor kehutanan Indonesia saat ini.
Berdasarkan data Kementerian Kehutanan tahun 2013, pengukuhan kawasan hutan baru mencapai 16,18% dari total luas wilayah 120 juta ha. Mengapa proses pengukuhan ini lambat?
Penyebab kelambatan ini antara lain adalah kebijakan. Tata batas berdasarkan penunjukan kawasan hutan tak menyelesaikan hak-hak pihak ketiga secara tuntas, dan belum mendapat pengakuan masyarakat dan pemerintah daerah, walau dalam pelaksanaannya (dulu dan sebagian sekarang), bupati menjadi ketua Panitia Tata Batas (PTB). Tata batas ini legal tapi tidak legitimate. Secara teknis pelaksanaan tata batas adalah sepanjang jalur batas, sedangkan untuk daerah di dalamnya tidak dilakukan karena terbatasnya anggaran. Inilah yang menimbulkan klaim-klaim masyarakat atas area di dalamnya yang sampai sekarang belum terselesaikan.
Faktor penyebab yang kedua adalah perubahan tata ruang 5 tahunan yang seringkali menafikan tata batas yang sebelumnya telah ada, dan dalam pratiknya mengakomodir perizinan yang salah lokasi dan perubahan dalam 5 tahun berjalan.
Penetapan kawasan hutan yang selama ini belum menjadi prioritas utama, adalah faktor berikutnya. Kebijakan lain seperti izin pemanfaatan (kayu dan non kayu) maupun penggunaan hutan (tambang) dapat diberikan, tanpa harus diselesaikannya penetapan kawasan hutan secara sah. Implikasinya, penetapan kawasan hutan melambat karena tanpa pengukuhan pun pengelolaan hutan tetap dapat berjalan.
Penetapan kawasan hutan disamakan dengan kegiatan lainnya, sehingga memasang patok batas menjadi bukti pertanggungjawaban keuangan atau anggaran. Padahal persoalan utama di sini adalah memastikan hak negara dan hak pihak lain, sehingga yang menjadi permasalahan sebenarnya adalah mediasi dan resolusi konflik.
Setelah tahun 2009, dimulai upaya percepatan penyelesaian penetapan dan tata batas. Sehingga pada akhir Desember 2014, sesuai data yang di release oleh Kementerian Kehutanan, penetapan kawasan hutan telah mencapai ±83.312.731,18 ha atau 68,86%.
Bagaimanakah keterlibatan masyarakat dalam pembenahan kebijakan sektor kehutanan?
Cukup banyak Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) dan akademisi yang mewakili peran masyarakat dalam upaya pembenahan kebijakan di sektor kehutanan. Permasalahannya, ada perbedaan substansial atau cara berfikir antara masyarakat dan pemerintah. Masyarakat biasanya berangkat dari persoalan-persoalan riil di lapangan, sedangkan pemerintah berangkat dari tugas pokok dan fungsi (tupoksi) yang harus ditaati. Dalam pratiknya di lapangan, pemerintah lebih mementingkan bagaimana mempertanggungjawabkan anggaran daripada memikirkan bagaimana persoalan diselesaikan. Gap yang demikian ini, sampai sekarang belum terpecahkan.
Seperti apa gambaran potensi kekayaan dan penerimaan negara sektor kehutanan?
Potensi dan realisasi penerimaan negara dari sumber daya alam secara umum sangat terkait dengan kecakapan negara untuk mampu mengetahui jumlah produksi dari tiap sektor, serta penetapan harga dasar setiap komoditi yang dijadikan sarana untuk menentukan pendapatan pemerintah.
Upaya penetapan produksi sampai saat ini tidak berkembang signifikan. Pemerintah masih menggunakan cara tunggal, dengan menempatkan SDM di perusahaan pengelola sebagai tenaga teknis (GANIS) yang mengukur dan melakukan grading kayu bulat milik perusahannya tersebut. GANIS diawasi oleh pengawas tenaga teknis (WASGANIS), yaitu pegawai pemerintah daerah dan UPT kehutanan dari Balai Pemantauan Pemanfaatan Hasil Hutan (BP2HP).
Dalam praktiknya, pengaturan hasil yang menguntungkan keduanya masih banyak ditemukan. Demikian pula untuk penetapan harga dasar sebagai instrumen menetapkan jumlah provisi (Provisi Sumber Daya Hutan) atau dana (reboisasi) sebagai pendapatan negara. Fakta di lapangan, menaikkan PSDH dan DR menjadi sangat krusial, karena tingginya biaya transaksi dalam proses perizinan maupun proses produksinya. Ini biasanya tidak dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan. Dengan sistem perdagangan saat ini, harga kayu menjadi under value sehingga produsen tidak mampu mendapatkan keuntungan yang semestinya.
Prof. Hariadi Kartodihardjo atau yang kerap disapa Prof. HK (yang berasal dari inisial nama beliau), tak asing lagi dengan berbagai isu pengelolaan hutan di Indonesia. Sejumlah hasil penelitiannya telah dituangkan dalam bentuk buku maupun karya ilmiah lainnya. Saat wawancara tim ACCH mulai menyentuh isu korupsi di sektor kehutanan, antusiasme beliau yang meraih gelar profesornya untuk Kebijakan Hutan tergambar dari runutnya penuturannya berikut ini.
Bagaimana alur atau proses perizinan pengelolaan kawasan hutan dan titik rawan korupsinya?
Alur atau proses perizinan dalam pengelolaan kawasan hutan dapat digambarkan seperti di bawah ini. Praktik penyuapan/ pemerasan yang terkait perizinan sangat tinggi, dan terjadi hampir di seluruh proses perizinan.
Penelitian KPK tahun 2013 telah mengkaji alur dan titik-titik rawan korupsi dalam proses pengelolaan hutan. Mulai dari persiapan permohonan, penelitian permohonan, tata batas, sampai dengan keluarnya izin pengelolaan. Dari izin ini kemudian ditentukan working area di lapangan, inventarisasi hutan menyeluruh berkala yang dilakukan oleh pemegang izin, rencana kerja lima tahun, laporan potensi hutan lima tahun, rencana kerja tahunan, dan laporan hasil produksi.
Berikutnya adalah tata usaha kayu, dimana pada tahap ini diterbitkan Surat Sah Hasil Hutan. Di tahap persiapan permohonan izin, izin, dan rekonsiliasi sangat rawan kecurangan dimana pemerintah dapat melakukan tindakan untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu. Potensi suap, pemerasan dan penjualan pengaruh ada di tiap titik.
Tim peneliti pernah melakukan penghitungan biaya untuk perizinan pengelolaan hutan, dan didapat angka yang sangat fantastis, yakni Rp 22 milyar untuk setiap izinnya. Dengan biaya yang sangat mahal tersebut, bagaimana rakyat mampu untuk "membeli" legalitas pengelolaan hutan?
Hal ini menimbulkan kesenjangan pelayanan, yaitu antara perusahaan yang mempunyai dana besar dan rakyat. Walaupun dikatakan bahwa semua elemen diberikan kesempatan yang sama, namun secara fakta di lapangan sangat berbeda.
Untuk menutup biaya tersebut perusahaan melakukan over cutting. Selain untuk menutup mahalnya biaya transaksi, ini dilakukan untuk mencapai target peningkatan penerimaan negara yang dicanangkan oleh BUMN. Jadi memang masalah di sektor kehutanan ini sangat kompleks.
Disini pemerintah tidak punya instrumen yang efektif untuk menghitung kekayaan sumber daya alam. Hal ini disiasati dengan adanya GANIS dan WASGANIS, namun kondisinya, mereka sangat negotiable. Seharusnya maintenance terhadap GANIS dan WAGANIS harus ideal, karena tanggungjawab, kewenangan, dan posisi yang strategis serta rawan korupsi.
Bagaimanakah respon pemerintah atas kondisi kehutanan Indonesia saat ini?
Pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Kehutanan, pada saat itu melakukan respon cukup besar dengan melakukan perbaikan regulasi dengan memotong alur atau proses perizinan. Namun, ternyata praktik pelaksanaan regulasi ini masih menimbulkan biaya transaksi yang tinggi di lapangan.
Solusi apa yang bisa ditawarkan untuk menyelesaikan persoalan sektor kehutanan Indonesia?
Dibutuhkan perbaikan kebijakan dan pelaksanaan di lapangan secara mendasar, dalam arti mengurangi peluang terjadinya korupsi. Upaya ini tidak dapat berjalan baik apabila tidak ada power yang memadai untuk melakukan ini. Disamping itu penetapan persoalan-persoalan teknis secara tepat juga penting, agar persoalan dapat diatasi.
Nota Kesepakatan Bersama (NKB)-KPK sejauh ini dapat menjalankan kedua fungsi itu, namun dalam pelaksanaannya, masalah di lapangan masih belum dapat diatasi. Berbagai perbaikan peraturan tersebut masih belum operasional, sementara kelembagaan Pemerintah masih stagnan (dengan tupoksi, anggaran dan cara mengukur kinerja yang sama atau mementingkan aspek administrasi), sehingga manuver untuk melakukan perubahan belum berarti, terutama bagi yang terkena dampak kebijakan.
Selain perubahan peraturan dan prosedur melalui revisi atau perubahan Peraturan Pemerintah dan Peraturan setingkat menteri untuk menghindari terjadinya korupsi, melalui metode corruption impact assesment, dalam jangka panjang juga perlu harmonisasi peraturan pada tingkat undang-undang.
Di samping itu, perlu perubahan struktur birokrasi pemerintah pusat maupun daerah yang dapat menunjukkan perubahan orientasi pemecahan masalah secara nyata di lapangan, dan bukan menyelesaikan pertanggungjawaban tupoksi dan anggaran saja. Keterbukaan informasi serta peran aktif LSM dan akademisi serta media juga sangat krusial, karena peran publik dalam memberikan justifikasi perubahan sangat diperlukan untuk mengimbangi konflik kepentingan dalam tubuh Pemerintah.
Selain upaya perbaikan dalam tubuh pemerintah, bagaimana upaya perbaikan dari sisi pengusaha?
Suap adalah sebuah kejahatan yang tidak hanya melibatkan satu pihak atau single actor, namun selain pihak yang menerima suap, juga ada pihak yang menyuap, yaitu pihak swasta. Merespon hal ini telah dilakukan pertemuan dengan pihak-pihak tersebut untuk bersama-sama melakukan perubahan ke arah good corporate governance.
Dalam membuat suatu perubahan, kita akui tidak mudah. Ketika pada level atas sudah menyatakan komitmennya untuk menerapkan good corporate governance, belum tentu pada level bawah atau teknis di lapangan secara serta-merta ‘mengiyakan' instruksi atasannya.
No comments:
Post a Comment