Jakarta Kebijakan ini ditengarai akan mendorong belanja properti ke luar negeri.
Ekonom Aviliani menyampaikan pandangan tersebut terkait rencana pemerintah merevisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang tarif dan batasan barang mewah yang terkena Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PpnBM) . Salah satu objek pajak adalah apartemen yang harganya di atas Rp2 miliar.
CNG.online: - Menurut Aviliani, kebijakan itu tidak akan memberikan hasil signifikan. Bahkan, dia menilai akan menimbulkan efek negatif. Efek itu diantaranya terjadinya belanja barang ke luar negeri, termasuk properti.
"Kami kira efek negatifnya lebih besar, karena orang orang akan belanja barang ke luar, devisa keluar, pajaknya juga tidak dapat," kata Aviliani di Rakornas REI, di Jakarta, Kamis (29/1).
Menurut dia, mengejar pendapatan pajak Rp 1 triliun dari apartemen di atas Rp 2 miliar belum tentu efektif. Hal tersebut berbeda dengan pemungutan pajak apartemen dan rumah tapak di atas Rp10 miliar, yang dianggap wajar karena masuk dalam kategori barang sangat mewah.
Sebaliknya, kata dia, apartemen seharga Rp 2 miliar itu bukan barang mewah sehingga tidak tepat dikenakan pajak barang sangat mewah. "Tapi kalau untuk apartemen Rp 5 miliar, itu okelah," kata dia.
Aviliani menegaskan, pemerintah seharusnya mengejar pajak dari para wajib pajak yang suka mangkir membayar pajak. Dari 118 juta orang angkatan kerja, yang membayar pajak baru 25 juta orang.
Ketua DPD REI DKI Jakarta, Arman Nukman, juga tidak setuju dengan rencana pemerintah memungut pajak apartemen dan rumah tapak dengan harga Rp 2 miliar. Tindakan tersebut berdampak besar, seperti penurunan tingkat pembelian rumah, pembeli juga akan terkena pajak berlipat. Harga rumah atau apartemen menjadi mahal karena pungutan dibebankan kepada konsumen.
"Kalau ini diterapkan dampaknya kepada konsumen dan pengembang. Padahal aturan saat ini sudah berjalan baik. Kalaupun ada yang menunggak, seharusnya pihak pajak mengejarnya, jangan membuat kebijakan yang justru berdampak negatif," kata dia.
Dia berharap kebijakan ini ditinjau ulang agar sektor properti kembali pulih pada tahun ini, setelah melambat pada tahun lalu.
Sebelumnya, DPP REI meminta pemerintah mengkajiulang rencana revisi peraturan pajak properti tentang penggolongan barang Sangat Mewah dan kebijakan yang mengatur mengenai PpnBM.
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan tengah menyiapkan revisi terkait obyek pemungutan Pajak Penghasilan (PPh 22) terhadap transaksi barang yang tergolong sangat mewah.
Regulasi yang akan direvisi tersebut adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor: 253/PMK/03/2008 tertanggal 31 Desember 2008 tentang Wajib Pajak Badan Tertentu sebagai Pemungut Pajak Penghasilan dari Pembeli atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah.
Ekonom Aviliani menyampaikan pandangan tersebut terkait rencana pemerintah merevisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang tarif dan batasan barang mewah yang terkena Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PpnBM) . Salah satu objek pajak adalah apartemen yang harganya di atas Rp2 miliar.
CNG.online: - Menurut Aviliani, kebijakan itu tidak akan memberikan hasil signifikan. Bahkan, dia menilai akan menimbulkan efek negatif. Efek itu diantaranya terjadinya belanja barang ke luar negeri, termasuk properti.
"Kami kira efek negatifnya lebih besar, karena orang orang akan belanja barang ke luar, devisa keluar, pajaknya juga tidak dapat," kata Aviliani di Rakornas REI, di Jakarta, Kamis (29/1).
Menurut dia, mengejar pendapatan pajak Rp 1 triliun dari apartemen di atas Rp 2 miliar belum tentu efektif. Hal tersebut berbeda dengan pemungutan pajak apartemen dan rumah tapak di atas Rp10 miliar, yang dianggap wajar karena masuk dalam kategori barang sangat mewah.
Sebaliknya, kata dia, apartemen seharga Rp 2 miliar itu bukan barang mewah sehingga tidak tepat dikenakan pajak barang sangat mewah. "Tapi kalau untuk apartemen Rp 5 miliar, itu okelah," kata dia.
Aviliani menegaskan, pemerintah seharusnya mengejar pajak dari para wajib pajak yang suka mangkir membayar pajak. Dari 118 juta orang angkatan kerja, yang membayar pajak baru 25 juta orang.
Ketua DPD REI DKI Jakarta, Arman Nukman, juga tidak setuju dengan rencana pemerintah memungut pajak apartemen dan rumah tapak dengan harga Rp 2 miliar. Tindakan tersebut berdampak besar, seperti penurunan tingkat pembelian rumah, pembeli juga akan terkena pajak berlipat. Harga rumah atau apartemen menjadi mahal karena pungutan dibebankan kepada konsumen.
"Kalau ini diterapkan dampaknya kepada konsumen dan pengembang. Padahal aturan saat ini sudah berjalan baik. Kalaupun ada yang menunggak, seharusnya pihak pajak mengejarnya, jangan membuat kebijakan yang justru berdampak negatif," kata dia.
Dia berharap kebijakan ini ditinjau ulang agar sektor properti kembali pulih pada tahun ini, setelah melambat pada tahun lalu.
Sebelumnya, DPP REI meminta pemerintah mengkajiulang rencana revisi peraturan pajak properti tentang penggolongan barang Sangat Mewah dan kebijakan yang mengatur mengenai PpnBM.
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan tengah menyiapkan revisi terkait obyek pemungutan Pajak Penghasilan (PPh 22) terhadap transaksi barang yang tergolong sangat mewah.
Regulasi yang akan direvisi tersebut adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor: 253/PMK/03/2008 tertanggal 31 Desember 2008 tentang Wajib Pajak Badan Tertentu sebagai Pemungut Pajak Penghasilan dari Pembeli atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah.
No comments:
Post a Comment