CNG.online: - Nusakambangan Dalam hitungan jam ke depan, pelaksanaan eksekusi enam terpidana mati akan dilaksanakan. Suasana Lapas Pasir Putih, Nusakambangan pun terasa beda.
Para terpidana, terutama yang divonis hukuman mati resah. Namun, ada seorang terpidana mati yang begitu siap menghadapi regu tembak, dia adalah Ang Kim Soei.
Ang Kim Soei adalah warga negara Belanda kelahiran Papua. Pria berusia 62 tahun itu memiliki beberapa nama alias, Ance Thahir, Kim Ho, dan Tommi Wijaya.
Dia juga dikenal sebagai Raja Ekstasi Ciledug. Itu karena dia ditangkap di pabrik ekstasi miliknya yang ada di kawasan Cipondoh, Ciledug, Tangerang, pada 2002.
Wartawan Jawa Pos Ilham Wancoko berhasil menemui Ang Kim Soei pada Rabu malam lalu (14/1) dengan bantuan pengacara Kedutaan Besar Brasil Utomo Karim. Wawancara dilakukan beberapa saat setelah Ang Kim Soei masuk ruang isolasi di Lapas Besi. Sebelumnya dia ditahan di Lapas Pasir Putih.
Sekitar pukul 19.00, Ang Kim Soei dengan dikawal empat sipir meninggalkan lapas Pasir Putih. Dengan tangan diborgol, dia berjalan santai. Mengenakan kaos berwarna merah, raut mukanya tampak tenang.
Begitu sampai di ruang tunggu, sipir menyelipkan sebuah amplop surat berwarna coklat di saku kaosnya. "Ini Ang Kim Soei, mana perwakilan Kedutaan Besar Belanda," tanya salah satu sipir.
Sayang, ternyata tidak ada seorang pun perwakilan kedubes Belanda yang datang. Akhirnya, Ang Kim Soei diarahkan menuju bus tahanan dan meluncur ke Lapas Besi untuk diisolasi.
Di Lapas Besi, Ang Kim Soei satu sel dengan Marco Archer C Moreira asal Brasil. Moreira adalah terpidana mati atas kasus penyelundupan heroin seberat 13,5 kg pada 2003.
Kalau Moreira uring-uringan dan tampak stres, Ang Kim Soei tampak tabah menghadapi ancaman maut. Setelah menjalani sidang pemberitahuan tentang eksekusi yang akan dilakukan Minggu besok (18/1), dia langsung masuk ke dalam sel isolasi. Tatapannya lalu menerawang ke luar sel sambil kedua tangannya memegangi jeruji besi.
Di bawah sinar lampu neon yang terang, mukanya tampak sedih. Namun, tidak menunjukkan emosi yang berlebih. Tampak sekali, dia sudah menerima rencana eksekusi dirinya. Saat itu, seorang sipir mendatanginya.
"Pak, saya pamit ya. Maafkan jika ada kesalahan selama ini," ujar sang sipir kepada Ang Kim Soei. Keduanya lalu berjabat tangan dan sipir itu pergi keluar dari Lapas Besi.
Saat Jawa Pos mendekatinya, Ang Kim Soei menunjukkan sikap ramah. Dia mau diajak ngobrol, namun menolak untuk diambil gambar. Berikut petikan wawawancara eksklusif Jawa Pos dengan Ang Kim Soei.
Bagaimana keadaan Anda?
Baik-baik saja.
Apakah anda mengetahui akan dieksekusi mati?
Saya baru saja diberitahu rencana eksekusi. Sudah saya prediksi kalau pemindahan saya karena akan dieksekusi.
Anda menerima eksekusi ini?
Mau bagaimana lagi, ini sudah takdir harus saya terima.
Apakah ada pesan untuk seseorang?
Saya punya pesan untuk Presiden Jokowi, saya selama ini telah berubah dan terus berupaya berbuat baik. Salah satunya, dengan mengobati orang, baik narapidana atau warga sekitar. Ada puluhan orang yang telah saya obati. Saya memiliki kemampuan untuk mengobati, saya menggunakannya. Tapi, mengapa justru saya yang dihantam (dieksekusi). Padahal, banyak terpidana mati, yang tetap berbuat jahat di dalam penjara.
Jenis pengobatan apa yang dilakukan?
Ada banyak hal yang bisa digunakan untuk mengobati, ada berbagai tanaman obat dan semacamnya. Semua itu ada di Pulau Nusakambangan ini.
Apakah Anda punya pesan untuk masyarakat?
Saya menyesal telah membuat narkotika. Sebaiknya, masyarakat menjauhi narkotika, obat-obatan terlarang ini merusak tubuh secara perlahan. Paru-paru, jantung dan semua organ manusia.
Bagaimana proses hukum yang selama ini Anda jalani?
Dulu waktu saya ditangkap, polisi membuat berita acara pemeriksaan (BAP). Dalam BAP itu saya disebut sendirian. Padahal sebenarnya ada dua orang pelaku lainnya. Tapi, hal itu sama sekali tidak disebut. BAP itu saya setujui karena di bawah ancaman dan waktu di pengadilan sempat saya tolak BAP itu, tapi saya dianggap berbelit-belit. Bahkan, banyak orang yang mendemo saya di pengadilan. Pendemo itu meminta pengadilan menjatuhkan hukuman mati kepada saya.
Soal proses hukum, apa ada hal lain yang ingin diungkapkan?
Dulu saat di penjara Cipinang, saya sering kali harus memberikan uang Rp 5 ribu kepada setiap satu petugas. Dalam sehari, saya harus memberi Rp 5 ribu untuk lima petugas. Tentu hal itu menyusahkan, saya tidak punya uang. Tapi, begitu dipindah di Lapas Pasir Putih, kondisinya berbeda, sipir memperlakukan saya seperti keluarga.
Apa keluarga mengetahui Anda akan dieksekusi?
Mereka sudah mengetahuinya sejak dulu.
Bagaimana tanggapan keluarga?
Apa mau dikata, mereka tidak bisa berbuat apa pun. Saya memiliki empat anak, dua anak lelaki dan dua anak perempuan.
Apa permintaan terakhir Anda?
Tentu saja, saya ingin bertemu keluarga jika diperbolehkan. Kalau Jaksa membolehkan, saya akan lebih senang. Tidak ada yang lain,.
Apakah mereka akan datang?
(Pertanyaan terakhir itu tidak dijawab Ang Kim Soei).
Para terpidana, terutama yang divonis hukuman mati resah. Namun, ada seorang terpidana mati yang begitu siap menghadapi regu tembak, dia adalah Ang Kim Soei.
Ang Kim Soei adalah warga negara Belanda kelahiran Papua. Pria berusia 62 tahun itu memiliki beberapa nama alias, Ance Thahir, Kim Ho, dan Tommi Wijaya.
Dia juga dikenal sebagai Raja Ekstasi Ciledug. Itu karena dia ditangkap di pabrik ekstasi miliknya yang ada di kawasan Cipondoh, Ciledug, Tangerang, pada 2002.
Wartawan Jawa Pos Ilham Wancoko berhasil menemui Ang Kim Soei pada Rabu malam lalu (14/1) dengan bantuan pengacara Kedutaan Besar Brasil Utomo Karim. Wawancara dilakukan beberapa saat setelah Ang Kim Soei masuk ruang isolasi di Lapas Besi. Sebelumnya dia ditahan di Lapas Pasir Putih.
Sekitar pukul 19.00, Ang Kim Soei dengan dikawal empat sipir meninggalkan lapas Pasir Putih. Dengan tangan diborgol, dia berjalan santai. Mengenakan kaos berwarna merah, raut mukanya tampak tenang.
Begitu sampai di ruang tunggu, sipir menyelipkan sebuah amplop surat berwarna coklat di saku kaosnya. "Ini Ang Kim Soei, mana perwakilan Kedutaan Besar Belanda," tanya salah satu sipir.
Sayang, ternyata tidak ada seorang pun perwakilan kedubes Belanda yang datang. Akhirnya, Ang Kim Soei diarahkan menuju bus tahanan dan meluncur ke Lapas Besi untuk diisolasi.
Di Lapas Besi, Ang Kim Soei satu sel dengan Marco Archer C Moreira asal Brasil. Moreira adalah terpidana mati atas kasus penyelundupan heroin seberat 13,5 kg pada 2003.
Kalau Moreira uring-uringan dan tampak stres, Ang Kim Soei tampak tabah menghadapi ancaman maut. Setelah menjalani sidang pemberitahuan tentang eksekusi yang akan dilakukan Minggu besok (18/1), dia langsung masuk ke dalam sel isolasi. Tatapannya lalu menerawang ke luar sel sambil kedua tangannya memegangi jeruji besi.
Di bawah sinar lampu neon yang terang, mukanya tampak sedih. Namun, tidak menunjukkan emosi yang berlebih. Tampak sekali, dia sudah menerima rencana eksekusi dirinya. Saat itu, seorang sipir mendatanginya.
"Pak, saya pamit ya. Maafkan jika ada kesalahan selama ini," ujar sang sipir kepada Ang Kim Soei. Keduanya lalu berjabat tangan dan sipir itu pergi keluar dari Lapas Besi.
Saat Jawa Pos mendekatinya, Ang Kim Soei menunjukkan sikap ramah. Dia mau diajak ngobrol, namun menolak untuk diambil gambar. Berikut petikan wawawancara eksklusif Jawa Pos dengan Ang Kim Soei.
Bagaimana keadaan Anda?
Baik-baik saja.
Apakah anda mengetahui akan dieksekusi mati?
Saya baru saja diberitahu rencana eksekusi. Sudah saya prediksi kalau pemindahan saya karena akan dieksekusi.
Anda menerima eksekusi ini?
Mau bagaimana lagi, ini sudah takdir harus saya terima.
Apakah ada pesan untuk seseorang?
Saya punya pesan untuk Presiden Jokowi, saya selama ini telah berubah dan terus berupaya berbuat baik. Salah satunya, dengan mengobati orang, baik narapidana atau warga sekitar. Ada puluhan orang yang telah saya obati. Saya memiliki kemampuan untuk mengobati, saya menggunakannya. Tapi, mengapa justru saya yang dihantam (dieksekusi). Padahal, banyak terpidana mati, yang tetap berbuat jahat di dalam penjara.
Jenis pengobatan apa yang dilakukan?
Ada banyak hal yang bisa digunakan untuk mengobati, ada berbagai tanaman obat dan semacamnya. Semua itu ada di Pulau Nusakambangan ini.
Apakah Anda punya pesan untuk masyarakat?
Saya menyesal telah membuat narkotika. Sebaiknya, masyarakat menjauhi narkotika, obat-obatan terlarang ini merusak tubuh secara perlahan. Paru-paru, jantung dan semua organ manusia.
Bagaimana proses hukum yang selama ini Anda jalani?
Dulu waktu saya ditangkap, polisi membuat berita acara pemeriksaan (BAP). Dalam BAP itu saya disebut sendirian. Padahal sebenarnya ada dua orang pelaku lainnya. Tapi, hal itu sama sekali tidak disebut. BAP itu saya setujui karena di bawah ancaman dan waktu di pengadilan sempat saya tolak BAP itu, tapi saya dianggap berbelit-belit. Bahkan, banyak orang yang mendemo saya di pengadilan. Pendemo itu meminta pengadilan menjatuhkan hukuman mati kepada saya.
Soal proses hukum, apa ada hal lain yang ingin diungkapkan?
Dulu saat di penjara Cipinang, saya sering kali harus memberikan uang Rp 5 ribu kepada setiap satu petugas. Dalam sehari, saya harus memberi Rp 5 ribu untuk lima petugas. Tentu hal itu menyusahkan, saya tidak punya uang. Tapi, begitu dipindah di Lapas Pasir Putih, kondisinya berbeda, sipir memperlakukan saya seperti keluarga.
Apa keluarga mengetahui Anda akan dieksekusi?
Mereka sudah mengetahuinya sejak dulu.
Bagaimana tanggapan keluarga?
Apa mau dikata, mereka tidak bisa berbuat apa pun. Saya memiliki empat anak, dua anak lelaki dan dua anak perempuan.
Apa permintaan terakhir Anda?
Tentu saja, saya ingin bertemu keluarga jika diperbolehkan. Kalau Jaksa membolehkan, saya akan lebih senang. Tidak ada yang lain,.
Apakah mereka akan datang?
(Pertanyaan terakhir itu tidak dijawab Ang Kim Soei).
Support: Jpnn.com
No comments:
Post a Comment