"Jangan sebut anak remaja atau orang dewasa. Sekarang, anak umur 3 tahun saja sudah dikasih gadget (gawai) sama orangtuanya. Namun, apakah mereka semua sadar, apa sumber energi dari gawai mereka?" tanya Evvy. Tidak tinggal diam, Evvy Kartini berhasil melakukan penelitian pembuatan baterai litium.Semua berawal dari studi S-2 Evvy, yakni ia menemukan model baru difusi material gelas.Ia sukses menghasilkan gelas superionik yang terdiri dari 3 komponen, yaitu pembentuk gelas, pengubah gelas, dan garam dopan.
"Sifat dari gelas superionik itu memenuhi kriteria sebagai padatan elektrolit yang digunakan pada baterai isi ulang," kata Evvy. Baterai bermaterial gelas superionik itu didesain ulang hingga ketebalannya bisa seperti kertas dengan luas sekitar 5 mm dan kapasitas mencapai 200 mikro ampere jam per sentimeter persegi. Baterai itu juga di klaim ramah lingkungan. "Salah satu penyimpan energi dalam jumlah kecil, namun yang berperan penting dalam teknologi itu ialah baterai. Jadi jelas, baterai itu merupakan tempat penampung energi yang diperlukan dalam seluruh perangkat elektronik, baik itu dalam bentuk kecil maupun sampai yang besar," jelasnya.
Sepuluh tahun silam, Evvy mengaku hampir tidak ada peneliti Indonesia yang berminat dalam riset pengembangan baterai lithium. Pasalnya, benda itu mudah didapatkan melalui impor. "Kita punya kok semua source yang dibutuhkan untuk membuat baterai, namun memang niatnya saja yang belum ada. Bisa sampai sekarang ini, tentu saya banyak belajar dari teman-teman saya yang merupakan peneliti dari luar karena jika di sini saja, saya tidak memiliki ahlinya yang dapat mengajarkan ke saya," sambungnya.
Saat ini, penelitian baterai lithium baru skala laboratorium. Evvy yang diperkuat 20 orang mengaku belum mampu memproduksi skala nasional.Pasalnya, dibutuhkan sumber daya dan modal yang besar. 'Untuk skala lab iya, kita sudah bisa membuat baterai lithium. Namun, memang belum diproduksi secara massal saja," tuturnya.Produksi Evvy berharap ke depannya, pemerintah bisa memberikan dukungan akan pengembangan baterai litium. Sehingga, Indonesia tidak lagi mengimpor, tetapi memproduksi baterai lithium made in Indonesia.
Menurut Evvy, pemerintah melalui Kemenristek, Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian, bersama dengan para peneliti, mau duduk bersama agar bisa mengembangkannya lebih jauh lagi.
"Duduk bersama dan bekerja sama memang diperlukan. Dari sisi Kemenristek bisa lebih ke teknologi, dari Kementerian ESDM bisa kepada pencarian dan pengolahan bahan baku dan Kementerian Perindustrian yang nantinya mengurusi masalah produksi secara massal. Jadi, memang harus duduk bersama jika mau serius mengembangkan baterai," ujarnya.
Alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB) itu melihat bila Indonesia berhasil menjadi produsen baterai, pasar akan mengalami perubahan. Tidak semata baterai, perkembangan aplikasi juga kian bertambah.Sehingga, tidak ada alasan pemerintah menunda mengembangkan baterai lithium dalam jumlah yang besar. "Kadang kita ini dibodohi dengan teknologi. Kita butuh, tapi kita tidak mengerti dan tidak mau belajar untuk mengerti.Ketika kita mengetahui seperti sekarang ini, tentu tidak sulit," ujarnya.
"Memang saya belum menguasai secara penuh atau iba rat 100% dari proses pembuatan baterai ini. Namun, dasar-dasar dari segala komponen untuk bisa jadi baterai itu sudah bisa.Jadi, tentu jika pemerintah serius mengembangkan, tidak mungkin dalam beberapa tahun ke depan kita sudah punya baterai litium buatan anak bangsa," paparnya.Kerja keras Keberhasilan Evvy itu tidak dengan mudah ia capai. Evvy sempat merasakan putus asa karena biaya dan fasilitas penelitian di Tanah Air sangat minim.
Meski terbatas, Evvy berhasil menunjukkan kerja keras dan kegigihannya dalam meneliti.Terbukti, ia meraih gelar doktor dengan predikat cum laude saat melakukan studi di Jerman. Bahkan, ia pernah terpilih sebagai perempuan Asia pertama dalam Program Hercules. Pada 1994, namanya tercatat dalam jurnal penelitian internasional bergengsi, seperti Physica B.Sejak itu, tawaran presentasi dan konferensi mengalir deras. Akhirnya, pada 1998-2000, namanya tercatat di 10 jurnal bergengsi sebagai peneliti utama.
Atas segala prestasi berskala nasional dan internasional tidak lantas membuat Evvy lupa dengan kodratnya sebagai seorang istri dan ibu. Di rumah, ibu dua anak itu selalu menyempatkan diri mendampingi buah hatinya beraktivitas.Beragam kegiatan ilmiah yang dilakukannya pastilah menimbulkan rasa lelah dan jenuh.Namun, semua hilang saat ia bermain piano.
No comments:
Post a Comment